Karimun, infoterkini.co.id – Belakangan ini jagat maya dihebohkan dengan adanya tagar #sahkanRUUPKS. Dengan timbulnya tagar seperti itu tentu saja membuat banyak kalangan yang bertanya apa itu yang dimaksud dengan RUU PKS.
RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) yang merupakan suatu produk hukum baru yang menjadi terobosan atas upaya penghapusan segala bentuk kekerasan seksual, terutama dengan maraknya bentuk kejahatan serta kekerasan seksual, baik kepada perempuan maupun lelaki di Indonesia yang sampai saat ini belum ada satupun peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur tentangnya.
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan denga kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain, yang berakibat atau dapat berakibat pendeeritaan atau kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik. (Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual).
Selain itu KOMNAS perempuan membagi bentuk kekerasan seksual menjadi 15 yaitu: Perkosaan, Pemaksaan Kehamilan, Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan, Pemaksaan Aborsi, Pelecehan Seksual, Pemaksaan kontrasepsi dan strelisasi, Eksploitasi Seksual, Penyiksaan Seksual, Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual, Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, Prostitusi Paksa, Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, Perbudakan seksual, Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas ddan agama, Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung. (www.komnasperempuan.go.id)
Dengan maraknya kejadian kekerasan seksual di Indonesia yang terus menerus bertambah dari tahun ke tahun, mengharuskan suatu peraturan yang secara khusus mengatur mengenai Kekerasan Seksual.
Ide untuk mengagas RUU PKS sudah dimulai sejak tahun 2012. Selama ini Undang-undang yamg mengatur mengenai kekerasan seksual berasal dari KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Namun, karena KUHP bersifat umum tentu saja yang diatur di dalamnya menjadi begitu limitative, pada intinya hanya 2 Jenis kekerasan seksual yang diatur, yaitu pemerkosaan dan pencabulan.
Meskipun dengan seiiring berjalannya perkembangan muncul Undang-Undang seperti UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang juga mengatur tentang jenus kekerasan seksual lain, namun seluruh Undang-Undang tersebut hanya dapat digunakan dalam ruang lingkup yang terbatas. (Komnas Perempuan)
RUU PKS merupakan suatu upaya pembaruan hukum dalam mengatasi berbagai persoalan terkait kekerasan seksual yang selama ini terjadi, pembaharuan dalam bentuk hukum ini bertujuan sebagai berikut :
- Melakukan pencegahan terhadap terjadinya peristiwa kekerasan seksual.
- Mengembangkan dan melaksanakan mekanisme penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang melibatkan masyarakat dan berpihak pada korban, agar korban dapat melampaui kekerasan seksual yang ia alami dan menjadi seorang penyintas.
- Memberikan keadilan bagi korban kejahatan seksual, melalui pidana dan tindakan tegas bagi pelaku kekerasan seksual.
Secara keseluruhan sistem hukum yang ada belum secara komprehensif memberikan jaminan penghapusan kekerasan seksual mencakup aspek pencegahan, perlindungan, pemulihan, dan pemberdayaan korban. Selama ini peraturan yang ada masih melihat kekerasan seksual sebagai pelanggaran terhadap ketentraman dan ketertiban masyarakat, hal ini menimbulkan kekerasan seksual akan dianggap berbahaya jika telah meresahkan banyak masyarkat.
Ketika korban belum menyuarakan apa yang dirasakan maka kekerasan seksual dianggap tidak berbahaya. Sehingga tidak berfokus pada penderitaan korban. Padahal selama ini yang menjadi korban bukan hanya orang dewasa bahkan sampai ke anak anak pun sudah menjadi korban. Hal ini tentu saja tidak bisa terus dibiarkan.
Karena selama ini mungkin telah terjadi ribuan kasus yang korbannya tidak berani menyuarakan diri karena tidak konkritnya perlindungan terhadap korban.
Hal ini dibuktikan dengan beberapa kasus yang sempat terjadi seperti kasus Baiq Nuril, seorang guru honorer di salah satu sekolah di Mataram, mengalami pelecehan seksual secara verbal yang dilakukan kepala sekolah tempat ia bekerja melalui telpon. Baiq Nuril memilih untuk melawan dengan merekam bukti percakapan telpon yang merekam pembicaraan kepala sekolah yang tidak pantas kepadanya.
Akan tetapi sekali lagi karena tampaknya memang perlindungan terhadap korban jarangn dirasakan oleh korban, sehingga Baiq justru dilaporkan sang kepala sekolah dengan dugaan penyebaran konten kesusilaan.
Urgensi dari diharuskannya Rancangan Undang-Undang ini menjadi Undang-Undang sudah jelas karena begitu banyak kekerasan seksual yang terjadi dan harus segera diatasi.
Salah satu yang harus diperhatikan adalah keberadaan peraturan perundang-undang yang dapat menjadi akomodasi terhadap para korban dan dapat dirasakan pentingnya undang-undang yang bersifat lex specialist yang dibuat khusus untuk menjamin penghapusan kekerasan seksual ini.
Penulis: Andika Dwi Amrianto, adalah seorang kelahiran Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. 29 Agustus 1999. Saat ini sedang menempuh studi Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.